WHAT'S NEW?
Loading...

Ketidaksabaran akan Gagasan-Gagasan Orang Besar

Semaun
Semaun menyebarkan ideologinya kepada kaum kecil

"Sepanjang kali ini mas, sudah aku kuasai. Dan buruh-buruh disini mas, mereka harus tau mas, kalau mereka punya arti dan tujuan hidup." kata pria bernama Semaun itu. Usaha memasukan nilai-nilai komunisme terus dilakukan Semaun bersama kadernya.

"Mas, nang Semarang kami berhasil melakukan pemogokan-pemogokan, sampek-sampek para pemilik modal itu meluluskan semua tuntutan lho. Saiki sampeyan delok Pak Cokro, orang tua itu. Terlalu hati-hati mas... Semua orang akan meninggalkan dia"

Seorang pria yang sedang asik dengan kesibukannya itu pun terhenti dan berpikir dengen ekspresi kerasnya.
"Sampeyan gak tau mas, aku iki wes kesel. Capek. Sering ngikutin dia."

"Mas, sampeyan itu pinter. Jago berorganisasi. Tekun. Lak seharusnya sampeyan itu lebih dari sekedar juru tulis Pak Cokro"

"Sampeyan gak tau. Aku udah sering diskusi. Mendampingi kemana-mana. Bahkan sudah sering tak bujuk I, tapi gak onok hasile!"

"Pena mas. Kudu dadi senjata. Dadi cangkul. Arit. Semua pekerja, petani, bisa mensejahterakan diri mas. Yo iku masa depan mas."

Termakanlah orang malang itu oleh omongan Semaun. Perlahan tapi pasti, internalisasi nilai-nilai Semaun berhasil, dan melepaskan pengikut Pak Cokro itu.

"Aku kudu yaopo?"

"Sampeyan tak kandani. Revolusi di Rusia itu sudah memberikan bukti yang nyata, bahwa rakyat miskin bisa menggulingkan kaum borjuis. Sudahlah mas. Sudah saatnya anda keluar dari gagasan besar itu. Bergabunglah dengan kami sekarang."

-------------------------------------------------
Beginilah kiranya PKI mencoba memasukan nilai-nilainya kepada orang banyak. Khususnya, yang memang menjadi sasaran mereka; buruh. Saya kira, cara mereka memasukan ideologi komunisnya begitu sederhana. Akan tetapi, karena kondisi saat itu memang mendukung (buruh-buruh tertindas, dan tidak sejahtera secara ekonomi), maka dengan sedikit bumbu emosional dan asumsi pribadi mereka, cara sederhana itu akhirnya diterima.

Yang kurang logis, seolah-olah menajadi logis.

Mereka jadi lupa tentang kesabaran, proses, dan unsur-unsur pertimbangan selainnya yang perlu dipikirkan. Memang beginilah yang menjadi tantangan dalam pemikiran. Apakah kamu bisa bertahan untuk tetap obyektif? tidak termakan emosi?

Tidak banyak yang bisa menjawab dan melewati tantangan itu. Tidak banyak yang kalah karenanya. Kemudian mereka menjadi orang-orang yang cuma ikut-ikutan perubahan jaman, tanpa menyaring pemikiran-pemikiran yang ada di dalam perubahan itu. Mereka tidak sadari tentang liberalisasi. Sama. Mereka juga orang-orang yang lupa tentang kesabaran, proses, dan unsur-unsur pertimbangan selainnya yang perlu dipikirkan.

Dengan tidak sadarnya mereka berkata "orang-orang obyektif itu akan ditinggalkan banyak orang". Ini memang kedengaran agak bodoh. Tapi saya kira, itu memang bisa terjadi.

Pada akhirnya, mungkin orang-orang yang berhasil bertahan obyektif itu kecil secara kuantitas. Namun besar secara kualitas. Terus berusaha membangun semuanya dan tetap berpegangan kepada obyektfitas. Mereka juga terus mencari orang yang berkualitas besar.

Akan tetapi, terkadang mereka juga berakhir seperti Pak Cokro, bersama kawan setianya bernama Agus Salim. Merekalah pembawa gagasan besar yang kecil secara kuantitas, dan terhenti diperjalannya. Tapi, semangatnya untuk membawa kebenaran tetap ada.

Pak Cokro
Pak Cokro (kiri) dan Agus Salim (kanan)

Dalam kesunyian dan berbagai desakan pemerintah kolonial, Pak Cokro berpikir mendalam. Dia mengingat-ingat untuk apa dan kenapa dia ada dalam perjuangan ini. Bersama sahabat satu-satunya dia mencoba menghayati ulang perjuangannya itu.

"Sudah sampai dimana Hijrah kita, Agus?" Tanya Pak Cokro

"Sahabat-sahabat kita ditangkap Belanda. Sebagian yang lain telah menjadi Merah (komunis)."
....
"Apakah kamu akan menyerah pada hijrahmu?"

"...Seperti juga kisah Nabi Muhammad SAW. Selalu ada kekecilan dan keterkuncian dalam setiap Hijrah. Dan saya, Agus Salim, akan hijrah bersama Cokroaminoto!."

"Hanya ada satu cara untuk berhijrah. Ilmu yang tinggi, strategi yang baik, dan ketauhidan yang murni." balas Pak Cokro kepada Agus Salim.

Kemudian Pak Cokro ditangkap oleh Belanda.


Sumber:
Film Hos Cokro Aminoto, dan bumbu penalaran.

0 komentar:

Posting Komentar